Oleh :
Suherman
Mantan Anggota KPU Dompu
Saat ini tengah dibahas revisi UU Pemilu. Meskipun pemerintah melalui Mensesneg secara tegas menolak pembahasan tersebut. Karena menganggap UU yang ada saat ini masih relevan dan belum begitu mendesak untuk direvisi.
Namun para pegiat pemilu dan demokrasi, praktisi hukum, akademisi dan masyarakat sipil lainnya memandang perlu dan mendesak dilakukan revisi UU Pemilu.
Sebab, UU Pemilu saat ini belum mengakomodir hal-hal substansial dan masih banyak yang harus diperbaiki. Salah satunya adalah terkait dengan eksistensi partai politik.
Sebagaimana diketahui bahwa partai politik adalah pilar demokrasi. Logikanya, kalau pilarnya tidak kuat. Maka, dipastikan bangunan demokrasinya juga tidak kuat, mudah rapuh dan runtuh.
Sejatinya kalau ditelusuri lebih jauh, maka seluruh urusan berbangsa dan bernegara adalah urusan politik dan diatur oleh kekuasaan yang diraih melalui jalur partai politik.
Menjadi Presiden yang akan mengurus hajat hidup orang banyak pada seluruh aspek kehidupan, harus dimulai dari partai politik. Tidak mungkin seorang menjadi Presiden tanpa dicalonkan oleh partai politik.
Demikian halnya untuk menjadi Gubernur, Bupati/Walikota, dan menjadi Anggota DPRD harus melalui partai politik. Bahkan untuk jabatan, jabatan lainnya seperti menteri harus rekomendasi partai politik.
Oleh karena begitu pentingnya keberadaan partai politik di negeri ini. Maka, peran partai politik harus dijaga. Salah satunya dengan memperkuat eksistensinya
Untuk memperkuat peran dan menjaga eksistensi partai politik, melalui revisi UU yang tengah di diskusikan. Saya memiliki sekurangnya dua usulan.
Pertama, agar badan hukum partai politik tidak lagi dilakukan oleh pemerintah melalui Menkumham. Akan tetapi diserahkan ke lembaga lain. Seperti KPU misalnya.
Biar sekalian badan hukum dan kepersertaan parati politik dalam pemilu “distempel” oleh KPU.
Selama ini manakala di stempel Menkumham cenderung memunculkan dualisme kepengurusan partai politik. Apalagi partai politik yang tidak sejalan dan tidak mendukung pemerintah.
Kita pernah memiliki pengalamaan bagaimana dualisme kepengurusan PDI-P, PKB, Golkar, PPP dan terakhir partai Berkarya.
Apalagi jika Menkumham-nya dwi representasi. Selain mereprenstasikan pemerintah, juga merepresentasikan partai politiknya.
Berbeda bila distempel KPU, partai politik lebih terjaga dan terjamin eksistensi karena KPU bukan bagian dari pemerintah dan juga bukan bagian dari parpol (mandiri).
Kedua, agar partai politik merekrut anggota, pengurus dan bahkan calon pemimpinya yang akan ikut Pemilu melalui proses kaderisasi secara berjenjang.
Tidak seperti selama ini, menjadi anggota partai politik disebut anggota hanya bermodal KTA, mengenakan simbol dan atribut saja. Sementara tidak jelas proses rekrutmen dan kaderisasinya.
Anggota partai politik perlu di kader, dibuatkan semacam latihan kader secara berjenjang dan diberikan sertifikat sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kepemudaan dan mahaiswa. Seperti HMI, PMII, IMM, KAMMI dan organisasi lainnya.
Misalnya untuk menjadi anggota partai politik, harus mengikuti latihan kader tingkat dasar. Untuk menjadi pengurus, minimal harus pernah mengikuti latihan kader tingkat menengah..
Puncaknya jika ingin menjadi calon di Pemilu apakah itu menjadi Presiden, DPR, Gubernur, Bupati atau Walikota, harus mengikuti latihan kader tingkat atas.
Jadi jelas dan terarah proses kaderisasi dan regenerasinya sehingga tidak ada lagi kader partai politik instan, kutu loncat, kader “miskin “idiologi, dan sebagainya.
Tentu, diatas hanya usulan. Sepenuhnya kembali kepada pembuat kebijakan, yakni pemerintah dan DPR. Siapa mereka, ya lagi-lagi mereka adalah representasi partai politik.(*)