BerandaOpiniBelajar Memahami Tata Kelola dan Peluang Garam Bima

Belajar Memahami Tata Kelola dan Peluang Garam Bima

BELAJAR MEMAHAMI TATA KELOLA DAN PELUANG GARAM BIMA
(Setelah musim hujan itu musim kemarau)

Oleh:
Azri Yusra
Forum Putra Garam Bima
Dosen STKIP Taman Siswa Bima

Kebutuhan garam nasional itu 4,4 juta ton per tahun, sedangkan kemampuan produksi hanya 2,9 juta ton secara nasional. Untuk beberapa sektor seperti Chlor Alkali Plant (CAP), farmasi dan kosmetik, pengeboran minyak, maupun aneka pangan, dibutuhkan garam berkualitas yang memenuhi Standar Nasional Indonesia.

Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin Fridy Juwono mengemukakan, garam masih menjadi barang yang strategis dengan 84% permintaan datang dari industri. Dari 84% tersebut, sebesar 53% berasal dari kebutuhan industri kimia atau sekitar 2,4 juta ton. Angka tersebut telah menghitung investasi baru yang dilakukan para pelaku industri.

Kementrian perindustrian di 2021 menargetkan penerapan garam rakyat 1,5 juta ton untuk diarahkan ke sektor industri. Asosiasi industri pengguna garam indonesia (AIPGI) menargetkan penyerapan garam lokal dgn kadar NaCl 90%. Gabungan pengusaha makanan dan minuman seluruh indonesia (Gapmmi) berkomitmen intuk menyerap garam rakyat, meskipun tetap menggunakan garam impor. Kebutuhan bahan baku garam pada industri makanan dan minuman itu berkisar 743.000 ton.

Menurut mereka, industri makanan dan minuman dituntut untuk membuat produk yang baik dengan masa simpan yang panjang. Alhasil, jika banyak ditemukan kontaminan, maka kualitas produk akan sulit bersaing. Maka berlaku rumus pasar, “Petani kalau bisa bikin garam bagus dan harga bisa diatur supaya lebih untung tetapi dengan kualitas tinggi tentu akan diserap industri.

Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman mengatakan garam industri punya kualitas tertentu yang harus dipenuhi. Misalnya, kadar NaCl harus minimal 97 persen. Kadar zat pengotor pada garam juga harus rendah. Zat yang dimaksud adalah kalsium dan magnesium. “Kita dituntut membuat produk yang baik dengan masa simpan yang panjang. Kalau memakai garam dengan kadar pengotor banyak, produk kita kalah saing,” urainya. Industri makanan dan minuman pada 2020 mengimpor garam dengan nilai sebesar USD19 juta. Adapun, sektor manufaktur yang sudah dapat mengonsumsi garam lokal sampai saat ini adalah industri water treatment, penyamakan kulit, pakan ternak, sabun, dan deterjen.

Posisi garam bima di pasar nasional seperti apa?

Garam bima itu masuk 10 besar sentra penghasil garam nasional, dan terbesar di NTB. Kalau musim kemarau maksimal, bima bs menempati urutan keenam. Kemampuan produksinya berkisar 140.075 ton (per 2019) yg tersebar di beberapa desa sentral penghasil garam (konsentrasi teluk bima).

Data 2019, Desa Sanolo menjadi desa penghasil garam bima terbesar, dengan jumlah produksi berkisar 44.206,48 ton per tahunnya.

Desa talabiu berkisar 14.485,59 ton
Desa donggobolo berkisar 13.708,24 ton
Desa pandai sekitar 12.524,04 ton
Desa penapali sekitar 12.406.69 ton
Desa soro sekitar 6.020.18 ton.
Tentu urutanya terus belanjut.
Desa desa garapan baru di luar teluk bima sdh mulai diupayakan untuk bs memproduksi garam.

Garam bima siapa yg beli?

Dulu di tahun 90an -2000an ada PT budiono (berlokasi di Ni’u, batas kota) yg masif membeli, dgn warna khas karungnya yg biru. Membirukan semua pematang meja garam. Kemampuan belinya mampu menyisir semua tambak. Namun, entah sebab apa, PT tersebut sdh tdk lg nampak membeli. Sampai skrg belum ada yg menggantikan peranan dari perusahan ini.

Sekarang, pembelian garam bima hanya mengandalkan para pedagang lokal desa yg kemampuan belinya 500-1000, itupun tergantung permintaan.
Garam tersebut dibawa ke lombok, kalimantan, bali, jawa dan lain lain.

Tentu penyerapan garam oleh pedagang lokal tdk akan maksimal. Dengan jumlah 140 rb ton per tahun, garam bima cocoknya dgn bisnis kelas perusahaan.
Agar penyerapan di puncak musim garam maksimal, dan garam yg tersimpan di gudang tradisional (karuku) itu jg ada yg beli dgn harga bersaing.

Pembelian skala kecil justru dtg dari pedangan garam pick up keliling kampung, meski sehari bs beli 10 sampe 20 karung per hari, kita harus tetap bersyukur. Mereka jualan keliling kampung untuk kebutuhan dapur dll.

Kualitas garam bima seperti apa?

Jika ada pihak yg meragukan kualitas garam bima, itu karena berangkat dari “frustasi” melihat persoalan. Kata mereka, garam bima tdk bs masuk kualitas industri. Ok fine.
Baiklah, mari kita sambut tantangan.
Jika persoalan kualitas hanya tertumpu pd NaCl 97% yg disyaratkan sektor industri, maka minimal ada dua cara. Pertama, harus ada kampanye masih save teluk bima untuk tdk terlalu tercemar kontaminan. Kedua, intervensi teknologi. NaCl yg bagus jg ditentukan oleh kualitas air laut, kadar zat pengotor pada garam juga harus rendah. Zat yang dimaksud adalah kalsium dan magnesium.

Menurut sy, jurus jitunya ada pada intervensi tehnologi. Ini juga mungkin penyebab bisnis PT Budiono tokcer dalam menyerap garam bima. Intervesi teknologi ialah bahasa sederhananya dgn “mencuci” garam agar bs didapati kandungan sesuai harapan.
Namun, sy tdk tahu sebab PT tsb tdk nampak lg membeli garam bima skrg, mudahan bkn disebabkan kegagalan pd tata niaga, melainkan faktor-faktor non teknis lain.

Peluang garam bima seperti apa?

Kalau kita biarkan garam bima dgn keadaan seperti ini, maka garam bima tdk akan pernah maju. Harus ada terobosan baru yg bersifat pembaharuan. Tentu terobosan baru membutuhkan proses, waktu dan upaya lebih.

Minimal, spt kata para petani garam, enak zamanya pak habibi dan di tahun 2015-2016 harga puncak paling tinggi. Tentu tingginya harga pd waktu itu tdk bs lg relevan jk dibandingkan dgn keadaan skrg.

Jika penyerapan garam bima terus kita andalkan pd pembelian para pedagang lokal, maka daya serapnya tdk maksimal dan persaingan harga antar pembeli tdk ada.

Terobosan yg paling bs dilakukan ialah dgn menghadirkan teknologi peningkatan kualilitas garam dlm bentuk pabrik yg dikelola perusahan daerah. Maka perusahaan daerah bs berbisnis layaknya “business as usual”. Bs membuat puluang bisnis baru, atau menduplikat cara bisnis PT budiono dgn “mencuci” garam.

Kalau kita pesimis dgn BUMD skrg, maka kita bs buat BUMD baru, baik dgn patungan sama pemkab dan pemprov. Dengan begitu, garam bima yg 140 rb ton per tahun, akan mengalami pembelian 3 cluster. Dibeli BUMD, pedagang antar pulau dan pedangang keliling kampung (UMKM).

Tantangan bisnis BUMD tentu tdk mudah. Sayap terbangnya antar perusahaan ke perusahaan. Harus bs menjadi penyedia garam Kualitas 1 bagi pelaku industri di jawa. Dia harus bs berperan sbg pengganti peran PT Budiono yg dulu masif membeli garam Bima. Dia jg harus bs memiliki pabrik pengolahan garam skala besar, dan terhubung baik dgn perusahaan atau asoisiasi penggguna garam yg berpusat di jawa. Produksi garam baru hasil olahan harus bs sesuai permintaan pasar industri. Mengapa BUMD? Kalau kita tunggu perusahaan swasta yg tertarik untuk berbisnis garam skala besar sampai kapan. Atau tunggu org bima yg kaya mau investasi di sini jg gak ada kejelasan. Melainkan pemerentah harus mengambil inisiatif. Agar hasil bisnis BUMD bs jd pendapatan daerah.

Semoga tahapan-tahapan ini bs kita lalui bersama, demi kesejahteraan, piring nasi petani garam bima.(*)

BERITA TERKAIT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img
- Advertisment -spot_img

BERITA Popular

Recent Comments

error: Content is protected !!